Gelap. Itu adalah teman, hariku dan hidupku. Dalam kegelapan aku dapat melihat. Aku bebas memikirkan apapun. Kegembiaraan ku, kesedihan ku bahkan hal – hal yang tak terpikirkan oleh orang lain. Gelap adalah sahabat terbaik ku.
Usiaku hampir tujuh belas. Sejak terlahir ke dunia aku sudah hidup dalam kegelapan. Kekejaman ibu yang membuat aku menjadi seperti ini. Semasa kehamilan ibu berusaha untuk membunuh ku dengan berbagai cara yang kejam, bahkan aborsi. Hal ini membuat aku terlahir cacat, sampai aku kehilangan penglihatan ku. Meski menyakitkan, aku bersyukur karna Tuhan masih mengasihiku. Aku di izinkan untuk tetap bisa hidup.
Pada saat usiaku lima tahun, ibu pergi meninggalkan aku di depan panti asuhan “BUNDA”.
Saat itu aku begitu merasa sedih. Aku benci, marah pada ibu.
“Kenapa dia tega membuangku ?”.
Di panti asuhan inilah, aku tumbuh besar. Tapi tetap dengan kekuranganku. Tak ada yang mau jadi temanku. Hanya Ibu Leni yang sayang padaku. Ibu Leni adalah pemilik panti asuhan. Hidupku berubah ketika ada sepasang suami istri mengangkat aku sebagai anak mereka. Pak Doni dan Ibu Nia, mereka adalah orang tua baruku. Aku begitu bahagia karna bisa merasakan hidup dengan keluarga yang utuh, meski mereka bukan orang tua kandung aku. Mereka bisa menerima kekurangan ku. Aku bersekolah di sekolah khusus. Di sekolah inilah aku bertemu dengan anak – anak yang nasibnya sama denganku. Aku tetap bahagia meski dalam suasana seperti ini. Aku bersyukur aku masih bias mendengar dan berbicara normal.
                                                          ***
          “Kasih, kenalin nih tetangga baru kita ! ” ujar mama seraya mengenalkanku pada tamu yang duduk di ruang tamu.
          “ Ini tante Ane dan anaknya Galih, “ terang mama.
Aku hanya mengangguk hormat pada mereka. Setelah basa – basi sebentar, mama mengajak tante Ane melihat – lihat rumah. Aku tetap duduk di ruang tamu bersama Galih. Untuk beberapa waktu kami berada dalam keheningan.
          “ Kamu sekolah di mana ? “ Tanya Galih membuka pembicaraan.
“ Aku sekolah di sekolah khusus. “
“ Sekolah khusus, maksudnya ? “ tanyanya lagi.
          “ Aku buta “ jawabku singkat.
Untuk sesaat aku merasakan Galih diam dan menatapku bingung. Aku tau dia pasti kaget saat tau aku buta. Setelah itu tak ada kata – kata lagi diantara kami sampai kedua orang tua kami datang membawakan minuman.
Dari kamarku di lantai atas, aku mendengarkan suara petikan gitar yang begitu indah. Aku begitu penasaran siapa yang bias memainkan gitar seindah itu. Karna aku begitu penasaran, aku meminta tolong mama untuk melihatnya.
          “ ma, bias tolong Kasih ? “ .
“ kenapa Kasih ? “ (tanya mama)
          “ ma, tolong liatin siapa yang main gitar ya ma. “
          “ itu Galih ! Tetanga baru kita kemarin.  Emangnya kenapa Kasih ?
          “ enggak apa –aapa kok ma ! “, makasih ya ma.
          “ iya sayang ! “ Mama keluar meninggalkan kamarku.
Suara Galih benar – benar indah, ucapku dalam hati.
***
Tiap sore aku sering mendengarkan alunan gitar Galih. Entah mengapa, aku suka mendengarnya dari jendela kamar ku. Aku senang mendengarnya menyanyi sambil memetik gitar. Sejak perkenalan itu Galih tidak pernah lagi bertandang ke rumah ku. Mungkin dia nggak mau lagi kenal dekat dengan aku, karna aku buta. Aku yakin Galih tak tahu dari balik jendela ini lah, aku  bercengkrama dengan suaranya. Dalam gelap aku berkhayal bias melihatnya. Dalam gelap, aku berharap dapatkah aku menjadi salah satu temannya.
Ketika aku sedang asyik mendengarkan musik, bel rumah bordering. Mungkin mama yang datang. Aku beranjak dari  kamarku untuk membukakan pintu.
          “ tante ada ? “ Tanya seseorang dengan suara yang akhir – akhir ini sering kurindukan. “ suara Galih “,
          “ hei, tante ada ? “ ulangnya seraya menepuk pundakku ketika melihatku hanya terdiam.
          “ oh, nggak ada, “ jawabku.
          “ ada apa ? “
          “ nih, ada kue buat tante dari mama ! jawab Galih datar seraya memberikan sekotak kue padaku.
          “iya, nanti aku sampaikan ke mama!”
Kalau gitu aku pulang dulu.
***
          “ Kasih, turun ! ada Galih nih ! “
          “ Galih”! Ngapain dia ke sini pagi – pagi.
          “ Iya, ma ! “
          “ Hallo, Kasih ! (sapa Galih).
          “ Hallo, ada apa Galih ?. Aku mau ajak kamu jalan – jalan. (ucap Galih)
Saat itu aku benar – benar kaget dan bingung, perasaanku campur aduk, antara bahagia dan takut.
          “ Galih, aku nggak bisa !
          “ Kenapa ? “
          “ Aku buta, aku enggak pantes jalan sama kamu. “
          “ Siapa yang bilang enggak pantes ! “
          “ Ayo ! “ Galih menarik tanganku dan mengajak aku pergi setelah berpamitan pada mama. Galih mengajakku ke sebuah taman nggak jauh dari komplek rumah kami. Saat sampai di taman, Galih malah terdiam.
          “ Galih, ngapain kamu ngajak aku ke sini ?
          “ Enggak kenapa – napa ! Aku Cuma cari temen aja buat nemenin aku di sini. “ Ucapan Galih membuat aku bingung.
Tak lama, terdengar suara seorang cewek.
          “ Galih, ngapain kamu di sini ? “
          “ Eh, Rara ! Enggak, Cuma nyantai – nyantai aja. “
          “ Trus, cewek itu siapa ? (tanya Rara)
          “ Kenalin, ini tetangga aku, Kasih !” Ujarnya mengenalkan gadis itu padaku.
Aku mengulurkan tanganku dengan perasaan tak menentu.
          “ Rara, “ sapanya datar.
Entah kenapa ada yang aneh pada diriku. Ada yang menusuk hatiku mendengar ucapan manja gadis itu pada Galih. Aku merasa Rara gadis yang sempurnah tidah seperti aku. Sebelum Galih membaca perubahanku, lebih baik aku pulang.
          “ Galih, aku mau pulang duluan !
          “ Kasih, kamu kenapa ? Biar aku yang antar ! (tawar Galih)
          “ Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Kamu di sini aja temenin Rara, Permisi. Aku berjalan pergi meninggalkan Galih dan Rara.
Tak terasa air mataku mengalir. Aku buru – buru naik ke kamar dan duduk di dekat jendela. Apakah Rara pacar Galih ?. Merasakan keakraban mereka sudah bisa dipastikan kalau gadis itu memang adalah pacarnya. Aku menertawakan diriku. Aku memang nggak bisa bergaul dengan orang – orang normal. Temanku memang cuma gelap. Aku berharap terlalu tinggi. Galih nggak akan repot jika berteman dengan orang yang normal.
Ku tutup jendela kamarku. Aku mau ngelupain Galih. Aku sadar aku hanya bisa berteman dengan orang yang sama sepertiku. Terbayang wajah – wajah temanku di sekolah. Mereka adalah sahabat terbaikku, selama ini mereka yang membuatku bahagia dengan kekuranganku, selain ke dua orangtuaku dan saudaraku. Mulai sekarang, aku nggak mau mendengar apapun tentang Galih. Biarlah dia Cuma menjadi secuil cerita dalam hidupku. Biarlah aku cukup bahagia bisa menatap dan bicara padanya walau hanya lewat gelap.
Aku putuskan untuk tidak berdiri lagi di dekat jendela. Aku nggak peduli lagi apa yang terjadi pada Galih. Biarlah tetap gelap temanku. Toh ! tanpa Galih, aku tetap bisa bahagia seperti dulu sewaktu aku belum mengenalnya.
Hari terus berlalu meski susah menahan diri untuk tidak berdiri di depan jendela. Tapi tetap ku tahan keinginanku. Jendela kamarku selalu tertutup rapat seperti rapatnya hatiku untuk mencoba melupakan Galih.
          “ Kasih, ada Galih di depan, “ panggil mama dari dapur.
          “ Galih ? ada apa dia datang ke sini.
Setelah hampir sebulan tidak mendengar tentangnya, tak bisa kupungkiri kalau perasaan itu masih tersisa. Jantungku berdetak saat mendengar namanya.
          “ Ada apa ? “ (tanyaku)
          “ Mau ketemu kamu. “
Aku mengeryitkan dahi, mendengar jawaban Galih.
          “ Aku jarang liat kamu, kemana aja ? “ ( tanya Galih )
          “ Sibuk ! “ (jawabku datar )
          “ Kasih, kamu mau nggak ikut aku ? “ ( ajak Galih )
          “ Kemana ? “
          “ Ke taman ! “
          “ Mau ngapain ke taman ? “
          “ Nggak apa – apa, aku pengen ngobrol banyak sama kamu. “
          “ Ngobrol apa ? Kamu kan bisa ngobrol sama temen – temen kamu. “
          “ Apa aja, kamu nggak mau ya ? “
          “ Bukan begitu, nanti pacar kamu marah. “
          “ Pacar ? pacar yang mana ? “
          “ Rara ? “
Galih malah tertawa terbahak – bahak mendengar ucapanku.
          “ Rara bukan pacar aku, dia temen aku. “
          “ Jadi gimana nih ? “
Aku tersenyum dalam hati. Ternyata aku salah duga terhadapnya. Ternyata Galih nggak pacaran sama Rara dan Galih mau jadi temanku.
          “ Ok ! jawabku singkat.
Sesampainya di taman.
          “ Kasih, aku punya sesuatu buat kamu ! “
          “ Apa ? ( tanyaku penasaran )
Tiba – tiba Galih meraih tanganku, memakaikan sebuah gelang di tanganku. Aku benar – benar bingung.
          “ Kasih, kamu terima ya,  gelang ini.
          “ Galih, ini buat apa ? tanyaku binggung.
Ini sebagai tanda persahabatan kita.
“ Kasih, kamu mau kan jadi sahabat aku ? “
Tapi, Galih aku nggak sama kayak kamu.
“ Aku buta ! “ ( jawabku )
“ Kasih, aku nggak liat kekurangan kamu dan mulai sekarang kamu nggak buta, karna kamu punya mata baru yaitu mataku. Mulai sekarang mataku adalah mata kamu juga.
Aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku bener – bener bahagia.
          “ Galih, makasih ya ! “
Hanya kalimat itu yang bisa aku ungkapkan, untuk satu pemberian yang bagiku sangat berharga dari Galih. Seseorang yang sekarang menjadi sahabatku.
Hari semakin sore. Aku dan Galih berjalan pulang. Dalam perjalanan pulang, banyak banget kelucuan yang dilakukan Galih. Galih mengantarku sampai rumah. Setelah itu dia pamitan pulang.
Tapi baru beberapa langkah dia balik lagi dan mendekatiku.
          “ Oh, iya aku lupa ! “
          “ Ada apa ? “
          “ Kaca jendela kamar kamu rusak ya ? sudah lama aku nggak liat kamu berdiri di sana ! “ tanyanya dengan nada menyindir.
Aku benar – benar kaget. Ya Tuhan ternyata selama ini …… ? Ternyata sejak awal berkenalan, Galih udah sering memperhatikan aku ? Dan, aku nggak menyadari hal itu.
“ Kasih sejati adalah Kasih yang bisa menerima kekurangan orang dengan lapang dada. Dan membantu mereka menghadapi kekurangannya”.

The End